Kesalahan Transaksi LNG Ratusan Juta Dollar AS Antara PGN-Gunvor Singapore Mencuat, CERI; Pertamina Harus Perbaiki Struktur Bisnisnya

Kesalahan Transaksi LNG Ratusan Juta Dollar AS Antara PGN-Gunvor Singapore Mencuat, CERI; Pertamina Harus Perbaiki Struktur Bisnisnya

Kabar Jakarta - Penelusuran lebih dalam Tim Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) terhadap sumber-sumber informasi yang sangat terpercaya di lingkungan PT Pertamina (Persero) Holding dan PT PGN Tbk (PGN), terkait penyebab potensi kerugian ratusan juta dollar Amerika akibat kesalahan transaksi LNG antara PGN-Gunvor Singapore, terungkap bahwa kasus tersebut hanyalah fenomena puncak gunung es yang juga melibatkan Pertamina Holding. Ada permasalahan yang lebih fundamental, yakni sistem dan kultur perusahaan.

Demikian ditegaskan Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman, Minggu (4/6/2023) di Jakarta.

"Petaka yang dihadapi PGN membuka aib buruknya sistem dan kultur perusahaan yang tidak bisa dilepaskan dari kepemimpinan Pertamina Holding sebagai pusat pengelolan BUMN holding energi nasional tersebut. Apa yang terjadi dengan PGN menujukkan gagalnya sistem manajemen, profesionalisme dan meritokrasi human capital Pertamina  yang sedikitnya meliputi sistem training dan pendidikan, sistem pembinaan dan pengembangan karir dan penempatan personel-personel yang cakap, kompeten, dan tepat di struktur korporasi dan lintas Sub-Holding," jelas Yusri.

Tidak bisa dipungkiri, sambung Yusri, ini adalah kegagalan manajerial dan koordinasi plus kepemimpinan di tingkat elitenya. 

"Pertanyaannya adalah apakah ini kegagalan Pertamina semata? Berikut adalah beberapa fakta awal yang  sederhana tapi cukup menyedihkan yang membuka kotak pandora buruknya sistem pengelolaan perusahaan energi nasional tersebut," tanya Yusri. 

Pertama, kata Yusri, PGN tidak punya pengalaman cukup dalam perdagangan LNG dengan traders dunia, sehingga deal dengan Gunvor adalah pengalaman pertamanya. 

"Secara tradisi, kompetensi PGN adalah di bisnis gas pipa, terutama retail domestik. Bisnis LNG lebih menjadi ranah dan kompetensinya Pertamina dengan tradisi dan pengalaman lebih dari 40 tahun, sejak tahun 1976," ungkap Yusri.

Kedua, masih menurut Yusri, di divisi LNG PGN tidak diisi oleh personel yang punya pengetahuan cukup dan pengalaman tinggi dalam mengenal, memahami, dan menganalisa market serta para pemain LNG, sebelum berdagang dengan traders LNG dunia.

"Ketiga, ketidak hati-hatian Direksi PGN dalam menandatangani MSPA (Master Sale Purchasing Agrement) dengan Gunvor menunjukkan ada masalah sistem dan kualitas managerial yang kronis di PGN dan Pertamina Holding. Patut dipertanyakan koordinasi di tingkat management Holding dan Sub-Holding sehingga isu ini tidak dapat segera terselesaikan. Sejauh mana Pertamina Holding memobilisasi dan menggunakan instrument bisnisnya untuk menyelesaikan kasus ini dengan Gunvor?," tegas Yusri.

Menurut Yusri, adalah sangat mengejutkan bahwa hal tersebut bisa terjadi di sebuah Holding BUMN kelas satu yang seharusnya mempunyai sistem yang solid dan kultur yang sehat.

"Tidak bisa dipungkiri dan sudah menjadi rahasia umum bahwa di sebuah korporasi sekelas Pertamina sangat sarat dengan kepentingan serta campur tangan external perusahaan, termasuk penempatan-penempatan personel di Sub Holding. Situasi ini semakin diperburuk oleh intrik internal. Dalam situasi seperti inilah kualitas leadership diuji dan muncul," kata Yusri.

Jika diurai sesuai strata di piramida manajemen, kata Yusri, maka di tingkat lower dan middle management level, masalah kronis ini adalah perseteruan antara para staf Divisi LNG di Holding dengan Divisi LNG PGN yang sudah terjadi bertahun-tahun dan tidak pernah terselesaikan hingga saat ini.

"Perseteruan ini diawali pada saat PT PGN ingin mencaplok PT Pertagas, di mana akhirnya sudah terlaksana pada tahun 2019. Meski akuisi ini sudah selesai, namun para staf LNG di Holding atau staff Pertagas belum mau legowo menerima PT PGN sebagai Subholding Pertamina. Resistensi seperti inilah yang membuat dua institusi ini tidak pernah mau berkoordinasi dengan baik," beber Yusri.

Penyebabnya pun menurut Yusri tak lain lantaran staf Divisi LNG Pertamina sering merasa dikalahkan atau dimarginalkan oleh PT PGN dan Direksi Pertamina Holding sendiri dalam mereka berebut bisnis, misalnya rebutan alokasi gas, pipa crossing, rebutan konsumen gas, dan lain-lainnya.

"Pemilihan terminal LNG Arun yang dioperatori PT Pertagas yang ditetapkan oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan pada tahun 2012, ketika PT PGN telah terlanjur membangun FSRU Belawan, kemudian dengan sedihnya terpaksa merelokasi dari Belawan ke FSRU Lampung, itu salah satu contoh nyata dari beberapa konflik yang terjadi," ungkap Yusri.

Menurut Yusri, penandatanganan MSPA dengan Gunvor itu tidak akan pernah terjadi, kalau mereka mau saling bekerja sama dengan baik. 

"Confirmation Notice pada 23 Juni 2022  ke Gunvor, jika ditanyakan terlebih dahulu ke Pertamina, sudah pasti itu akan ditolak oleh Pertamina, sebab kargo Woodside ini masih subject to Price Review, sehingga harga yang disepakati oleh PGN dengan Gunvor berisiko lebih tinggi daripada harga dari Woodside Energy Ltd," tegas Yusri. 

Sekarang ini, kata Yusri, dengan munculnya masalah PGN dengan Gunvor ini, anehnya justru orang luar mempunyai kesan bahwa staf LNG di Holding merasa puas menikmati kemenangan atas musibah yang dialami PGN. Tentu ini suatu hal yang ironis.

"Di tingkat top-level management, ini menunjukkan kelemahan kepemimpinan atau leadership. Para pimpinan puncak di kedua perusahaan (Pertamina Holding dan PGN) tidak mampu mengidentifikasi dan gagal memahami situasi yang terjadi di level bawah, atau mengabaikan situasi tersebut dan hanya berharap hal tersebut akan selesai dengan sendirinya. Pimpinan BUMN ini gagal memahami dan mengelola adanya sub-consciousness competition atau kompetisi alam bawah sadar yang terjadi di perusahaan-perusahaan besar dan mapan seperti (mungkin) BUMN akibat kegagalan managerial," urai Yusri. 

Yusri mengatakan, kekisruhan LNG Pertamina Holding dan Subholdingnya yang sudah berlarut-larut ini membutuhkan kualitas dan kapasitas  kepemimpinan yang mampu membenahi sistem dan menyelesaikan perselisihan yang sudah kronis ini, serta membangun kultur perusahaan baru yang sehat. Perseteruan ini harus segera diakhiri.

"Jika memang benar bahwa awal mulanya justru deal PGN-Gunvor ini mendapat pujian dari Direktur Utama Pertamina, maka ini juga menujukkan kedangkalan pemahaman atas masalah teknis bisnis Pertamina dan PGN. Ada kesan bahwa Pimpinan BUMN kelas satu ini hanya melihat prestasi dari pencapaian di atas kertas semata yang semu. Menggelar kompetisi internal dengan metode adu-domba adalah pedekatan negatif yang tidak mendidik dan kontraproduktif," kata Yusri.

"Jika, atas musibah yang dialami PGN ini,  memang terjadi aksi pembiaran oleh Pertamina Holding, maka metode adu-domba inilah penyebabnya. Secara tidak sadar, atau mungkin bahkan disadari, pimpinan Pertamina mengendorse atau bahkan malah mengencourage aksi pembiaran terhadap kasus PGN-Gunvor ini," sambung Yusri.

Menurut Yusri lagi, kasus PGN-Gunvor hanya bisa diselesaikan di kelas Pertamina sebagai holding, bukan PGN. Pertamina mempunyai instrumen yang paling lengkap untuk membawa Gunvor ke meja perundingan. 

"Sanksi dan pergantian Direksi PGN sudah dilakukan, langkah berikutnya adalah bagaimana memitigasi deal PGN-Gunvor supaya diperoleh kesepakatan yang baik bagi semua pihak. Kerugian yang akan diderita PGN sudah pasti akan berimbas ke Pertamina karena akan terkonsolidasi ke Laporan Keuangan Pertamina sebagai Holding. Persoalannya adalah willingness dan capability," beber Yusri.

Yusri menggaris bawahi, kegagalan PGN tidak seharusnya selesai dengan ditimpakannya kesalahan kepada personel yang kebetulan terlibat dalam kasus tersebut.

"Bagaimana perusahaan bisa menyalahkan personel yang memang merupakan hasil dan akibat dari penempatan yang tidak sesuai dengan sistem dan meritokrasi yang baik? Ada hal yang lebih mendasar yang harus difahami dan diselesaikan dengan komando dari tingkat elite perusahaan," kata Yusri.

Terlepas dari kompleksitas sebuah perusahaan besar dengan segala permasalan Human Capital serta syaratnya kepentingan internal dan external, menurut Yusri, setelah berbagai petaka yang dialami Pertamina, mulai dari proyek-proyek yang tertunda, kebakaran kilang, kecelakaan kerja dan sekarang kegagalan bisnis PGN, maka ini adalah momentum penting bagi Pertamina untuk berbenah bukan hanya di Sub-Holding PGN, tetapi Sub-Hodling lainnya.

"Pertanyaanya, apakah Pertamina Holding berani dan mampu melakukan terapi total tersebut?," ungkap Yusri. 

Lebih lanjut Yusri mengatakan, stakeholder Pertamina yang berada di luar perusahaan juga harus memahami bahwa Pertamina adalah Flag-Ship nya Indonesia. 

"Biarkan perusahaan ini menjalankan profesinalismenya dan berpentas di bisnis  internasional. Status BUMN tidak boleh dijadikan alasan atau tempat berlindung  bagi para stakeholder untuk mengambil manfaat yang hanya akan merugikan masa depan perusahaan. Petronas, dan banyak perusahaan negara lainnya di luar sana merupakan contoh sukses dimana para stakeholdernya mampu menahan diri, demi kepentingan yang lebih besar," ungkap Yusri.

Dikatakan Yusri, tidak ada satu orang Indonesia pun yang menginginkan perusahaan ini pelan-pelan tenggelam.

"Mungkin sudah saatnya Pertamina Holding melakukan Survey Pekerja yang comprehensif. Ini merupakan pendekatan akademik dan best practise bagi pimpinan Pertamina untuk memahami anatomi perusahaan dan segala permasalahannya, untuk berkaca dan kemudian menyiapkan model untuk memperbaikinya, kemudian menyiapkan dan membangun jalan yang lebih baik untuk masa depan perusahaan, ini tentunya menjadi tugas elite perusahaan," pungkas Yusri.**