Ancam Laporkan Pemilik 446 Persil SHM, Ternyata PT DSI Tidak Punya HGU dan SK Pelepasan Kawasan

Ancam Laporkan Pemilik 446 Persil SHM, Ternyata PT DSI Tidak Punya HGU dan SK Pelepasan Kawasan

Siak - Persoalan sengketa lahan seluas 1.300 Hektar (Ha) di Desa Dayun, Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, Riau belum usai. Terbaru, Penasehat Hukum PT Duta Swakarya Indah (DSI) Anton Sitompul, SH MH dan Suharmansyah, SH MH mengancam akan melaporkan seluruh pemilik 466 persil Sertipikat Hak Milik (SHM) yang diklaim berada di atas areal Pelepasan Kawasan Hutan milik PT DSI.

Menyikapi hal itu, Ketua Umum DPP LSM Perisai , Sunardi SH selaku yang diberi  dikuasa oleh Indriany Mok dan kawan-kawan pemilik Kebun dengan bukti kepemilikan berupa Sertipikat Hak Milik  yang diperoleh secara  sah dan benar atas lahan yang disengketakan tersebut buka suara.

Dijelaskan Sunardi, Sertipikat Hak Milik (SHM) yang dimiliki oleh Indriany Mok dan kawan-kawan diterbitkan melalui mekanisme sesuai aturan Kementerian ATR/BPN RI dan sumber penerbitan tentu berdasarkan alas hak yang sah berupa SKT maupun SKGR dan dahulu adalah jual beli  dari kebun/tanah garapan warga setempat yg digarap sebelum adanya pelepasan kawasan hutan karena warga sudah terlebih dahulu bercocok tanam dan berkebun karet sesuai petunjuk Pemerintahan pada masa itu.

Sertipikat tersebut diterbitkan sekira tahun 2006 dan 2007 oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Siak. Sertipikat tersebut dapat di terbitkan oleh Kantor Pertanahan atas Dasar aturan hukum serta penegasan dari Bupati Siak Arwin AS pada tahun 2002, 2003 dan 2004. Ini jelas telah menegaskan bahwa pelepasan kawasan Hutan Nomor 17/ Kpts-II/1998 atas nama PT DSI sudah batal dan tidak sesuai lagi dengan RT/RW di Kabupaten Siak.

"Didalam Surat Keputusan Menteri juga tertuang aturan yg sudah baku diantaranya pada diktum yang kesembilan yang berbunyi apabila PT DSI tidak memanfaatkan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan yang tercantum pada diktum Pertama dan atau menyalahgunakan pemanfaatannya dan atau tidak menyelesaikan pengurusan Hak Guna Usaha dalam waktu satu tahun sejak diterbitkannya keputusan ini, maka pelepasan kawasan hutan ini batal dengan sendirinya dan areal tersebut kembali dalam penguasaan Departemen Kehutanan," tegas Sunardi, Minggu malam (18/9/22).

"Penjelasan tersebut sudah sangat jelas atas ketentuan dan dasar hukum diberikannya SK Pelepasan untuk tidak dilanggar, sedangkan aturan tersebut pihak PT DSI melanggar sejak ketentuan hukum diberikan pada tahun 1998 serta lalai dalam menyelesaikan kewajibanya untuk mengurus Hak Guna Usaha (HGU), bahkan sampai saat ini PT DSI belum memiliki HGU, lalu apa dasar hukum PT DSI akan melaporkan Pemilik Sertifikat? Sedangkan sejak pelepasan kawasan hutan ditanda tangani  maka pihak yang berwenang sudah jelas berpindah menjadi wewenang pertanahan", sambungnya.

Kemudian, terkait pernyataan Direktur Kajian Kawasan Hutan LSM Tropika Riau, Indra Pahlawan, yang menyikapi tentang pelepasan kawasan dan menyebut Sertipikat Hak Milik (SHM) tidak akan ada tanpa SK Pelepasan Kawasan Hutan, Sunardi kembali menegaskan bahwa Indra Pahlawan belum memahami secara rinci tentang asal-usul dan riwayat terbitnya Sertipikat Hak Milik atas 466 persil di lokasi lahan seluas 1.300 Ha.

"Sekali lagi saya katakan bahwa Sertipikat tersebut tentu memiliki dasar-dasar yang jelas, riwayat yang jelas dan itu sudah memenuhi aturan hukum. Terbukti pada tahun 2010, bahwa pemilik sertipikat pernah dilaporkan oleh pihak PT DSI di Polda Riau, akan tetapi laporan tersebut dihentikan karena tidak terbukti adanya pelanggaran hukum. Nah ini kan bisa menjadi rujukan atau pedoman hukum agar tidak muncul  informasi-informasi yang tidak benar alias miring," terang Sunardi.

Sunardi mengungkapkan, jauh sebelum adanya pelepasan kawasan yang dilakukan oleh PT DSI, masyarakat setempat sudah terlebih dahulu menggarap lahan tersebut.

"Belum ada tanda-tanda adanya PT DSI disana, masyarakat sudah beraktifitas, bercocok tanam, berkebun karet dan lain-lain. Disitu dapat dibuktikan ketika pihak pemerintah setempat yang akan mengeluarkan perizinan-perizinan, PT DSI telah melakukan inventarisasi lahan. Dapat disimpulkan bahwa garapan di lokasi lahan yang diberikan izin seluas 8 ribu hektar itu, 80 persen adalah garapan milik masyarakat atau warga. Itu bisa dilihat secara langsung dari inventarisasi dan peta yang diterbitkan," ucapnya.

 

Berkaitan dengan Constatering atau Eksekusi yang pernah dilakukan Pengadilan Negeri (PN) Siak pada 3 Agustus 2022 lalu di lahan tersebut, LSM Perisai Riau tidak pernah melarang dan tidak  menentang proses tersebut. Namun pada hakekatnya pelaksanaan Constatering dan Eksekusi dilaksanakan pada objek yang salah dan tidak jelas.

"Harus dipahami, bahwa yang akan dilakukan eksekusi itu bukan atas nama pemilik sertipikat atau kebun, akan tetapi yang akan dieksekusi adalah atas nama PT Karya Dayun. PN Siak jika ingin melakukan eksekusi lahan milik PT Karya Dayun, silahkan dicari dimana letak lahan dari PT Karya Dayun dan tentukan dimana Kilometer 8 yang akan dilakukan eksekusi karena Pihak Pertanahan Kabupaten Siak sudah memberikan Penjelasan secara gamblang, bahwa PT Karya Dayun tidak ada tercatat dan terresgiter di Kantor Pertanahan," papar Sunardi.

Terhadap lokasi yang akan dilakukan eksekusi, Sunardi menyebut hal itu jelas-jelas salah objek letak dan titiknya. 

"Dan itu jelas putusan yang sudah diberikan, akan tetapi Objek lahan atau titik yang akan dilakukan constatering serta dieksekusi yg sudah diputus oleh Pengadilan lalu keberadaan objek lahan milik PT Karya Dayun  masih dicari-cari, inikan aneh," katanya heran.

Sesuai aturan dan perlu digarisbawahi serta dipahami, lokasi yang akan dilakukan Constatering dan Eksekusi itu mestinya sudah diketahui dari awal. Ini justru yang menunjukkan lokasi adalah pemohon eksekusi, bukan pihak yang berwenang yakni Badan Pertanahan Nasional (BPN). Untuk itu, jelas Sunardi, beberapa hari yang lalu LSM Perisai Riau telah membuat pengaduan secara resmi ke Komisi Yudisial (KY) Republik Indonesia pada Kamis (15/9/22) di Jakarta terkait dugaan pelanggaran kode etik oleh Ketua PN Siak.

"Pihak KY telah melakukan verifikasi, disitu ada unsur-unsur yang ditingkatkan sehingga laporan pengaduan kami itu diteruskan ke Badan Pengawasan (Bawas) Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia," sebutnya.

Sebagai lembaga kontrol sosial, LSM Perisai menyikapi permasalahan ini dan siap untuk mengawal proses yang ditangani oleh Bawas MA.

Beberapa waktu lalu, ia telah mengungkap fakta mengejutkan terkait PT DSI selaku pemegang Izin pelepasan kawasan seluas 13.532 hektar. Setelah adanya putusan  Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang telah berkekuatan hukum Nomor : 198/PK/TUN/2016 Tanggal 12 Januari 2017, maka surat-surat tersebut cacat administrasi dan merupakan pelanggaran hukum apabila surat-surat tersebut digunakan.

"Legalitas surat milik PT DSI telah dinyatakan tidak dapat dipergunakan lagi  berdasarkan putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap, sehingga apabila proses constatering dan eksekusi tetap dilaksanakan mengacu kepada administrasi yang ada, sedangkan administrasi yang ada sudah dinyatakan cacat hukum. Apabila masih dipaksakan hal ini menurut kami merupakan sebuah pelanggaran hukum," tegas Sunardi.

"Adapun dengan amar putusan tersebut, pengadilan telah menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) dari PT DSI tersebut dan menghukum pemohon untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan PK tersebut sebesar Rp2,5 juta," sebutnya.

Untuk diketahui, PT DSI hingga saat ini belum memiliki izin Hak Guna Usaha (HGU) atas usaha perkebunan milik perusahaan tersebut.

"Setelah gugatan PTUN dikabulkan, itu sudah membuktikan  bahwa legalitas PT DSI cacat Administrasi, baik pelepasan kawasan, izin lokasi, IUP atas nama PT DSI. Dan sudah tudak berhak untuk  digunakan. Terbukti Legalitas PT DSI ditolak oleh pengadilan yang berkekuatan hukum tetap," ucapnya tegas.**